/* bottom

Rabu, 30 Mei 2012

Pengelolaan Keuangan (R)SBI mau Dibawa Kemana ?

Ditengah gugatan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef kepada Majelis konstitusi untuk menganulir UU 20 tahun 2003 khususnya pasal 50 ayat 3 dan membubarkan RSBI,  sejak munculnya kebijakan (R)SBI banyak sekolah yang mengajukan diri menjadi (R)SBI walaupun dalam ketentuan hanya menghendaki sekurang-kurangnya satu sekolah berstandar internasional pada semua jenjang pendidikan untuk masing-masing Pemerintah Daerah. Keberadaan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang diatur  dengan Permendiknas No.78 Tahun 2009 mensyarakan bahwa untuk menjadi SBI sekolah tersebut telah memenuhi kualifikasi sekolah standar nasional yang selanjutnya dikembangkan menuju sekolah berstandar internasional dengan tambahan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) yang merupakan organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi ekonomi atau negara maju lainnya.

Keberadaan (R)SBI ditengah pro dan kontra di masyarakat baik dari sisi kesiapan sekolah, maupun kualitas yang dihasilkan hampir tidak ada perbedaan dengan sekolah SSN, bahkan sebagian masyarakat cara membedakan antara sekolah (R)SBI adalah biaya sekolah yang tinggi.
 Dinamika (R)SBI di Daerah
Penyelenggaraan Sekolah (R)SBI di daerah yang telah berusia hampir 5 (lima) tahun ini telah banyak menimbulkan pro dan kontra, disatu sisi dibutuhkan namun disisi lain masyarakat keberatan karena dianggap diskriminatif dan biaya mahal.  Hal ini dibuktikan dengan dengan masih tingginya dana masyarakat yang harus dikeluarkan oleh  orang tua/wali murid untuk menyekolahkan anaknnya di sekolah berlabel (R)SBI, meski beberapa daerah telah melakukan pembatasan terhadap pungutan dana masyarakat tersebut.  Dengan meng-atas namakan Komite sekolah, banyak Sekolah berlabel (R)SBI yang menarik iuran dari orang tua murid baik itu pada saat tahun ajaran baru, maupun iuran rutin setiap bulan.   Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh komite/sekolah untuk mendukung pembiayaan kegiatan di sekolah. Praktik demikian banyak terjadi di daerah, bahkan model pertanggungjawabannya dana hasil iuran orang tua/wali murid tersebut dilaporkan secara terpisah dengan dana-dana lain yang diterima oleh sekolah tersebut.
Keberadaan Komite sekolah kalau sebelumnya diatur dalam Kepmendiknas No.044/U/2002 berperan dalam pemberi pertimbangan kepada sekolah (advisory agency), pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga, pengontrol (controlling agency), serta mediator (mediator agency) antara sekolah dengan masyarakat.  Namun sejak peraturan tentang keberadaan komite sekolah dinaikkan kelasnya dan termuat di dalam  PP 17 tahun 2010 justru mengalami penurunan peran menjadi memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Artinya komite sekolah tidak lagi menjadi legelator dalam menarik iuran dana dari orang tua/wali murid. Bahkan pada pasal 198 ditegaskan bahwa "Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: ".....b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan."
Jika melihat peran komite sekolah tersebut dapat diterjemahkan bahwa penarikan iuran oleh komite untuk mendukung operasional sekolah sudah tidak diperkenankan, kecuali dukungan sarana dan prasarana. Sehingga jika sekolah akan menarik dana dari masyarakat orang tua/wali murid untuk mendukung kegiatan sekolah harus atas nama sekolah, dan ini diperbolehkan bagi sekolah berlabel sekolah berstandar internasional (R)SBI).
Tata Kelola Keuangan Sekolah (R)SBI
Keberadaan (R)SBI oleh pemerintah diharapkan dapat dikembangkan dengan berbagai sumber dana baik dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupeten/kota, serta dari masyarakat tentunya dengan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel seperti yang dikehendaki dalam Permendiknas no. 78 tahun 2009, mengadung makna bahwa pertanggung jawaban pengelolaan keuangan berprinsip pada efisiensi, efektifitas, keterbukaan, dan akuntabilitas berpedoman pada perundangan keuangan yang berlaku, dengan begitu sekolah berlabel (R)SBI wajib menerapkan sistem akuntansi yang diterima umum, artinya untuk sekolah negeri wajib menerapkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) sedang untuk sekolah (R)SBI swasta tentunya juga menerapkan sistem akuntansi keuangan nir laba yang nantinya akan di audit oleh akuntan publik, dengan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).  Jika opini WTP ini benar-benar menjadi salah satu syarat sekolah untuk memiliki predikat (R)SBI, maka beban berat bagi sekolah untuk dapat memenuhi, meskipun bukan tidak mungkin.
Ditengah gencarnya tuntutan konstitusi bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari total anggaran APBN dan APBD  keberadaan (R)SBI dapat didukung dari berbagai sumber baik dari bantuan pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota bahkan  masyarakat sejalan  dengan pasal 13 ayat 3 Permendiknas no. 78 tahun 2009 "(R)SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS". Artinya pada setiap awal tahun (R)SBI dari Sekolah dasar sampai sekolah menengah khususnya sekolah negeri wajib menyusun RABPS/RKAS yang di dalamnya terdapat sumber-sumber pendapatan dan alokasi keperuntukan belanja yang tentunya berbasis anggaran kinerja, seperti yang dikehendaki dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, maupun UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dalam Permendiknas No: 60 tahun 2011 dimana saat kebutuhan operasional sekolah telah dicukupi dengan bantuan operasional sekolah (BOS) bagi SD dan SMP, pada sisi lain untuk Sekolah Dasar dan SMP yang bertaraf Internasional diperkenankan melakukan pungutan dengan persetujuan tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk,  Sedangakan untuk SD dan SMP yang dikembangkan menjadi berstandar Internasional dapat melakukan pungutan dengan persetujuan bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk. Hal yang masih menjadi perdebatan adalah bagaimana jika SMP RSBI yang pengelolaannya baik SDM, Pendanaan maupun aset telah diserahkan provinsi, siapa yang harus memberikan persetujuan pungutan? Setidaknya ada dua pandangan  berkait dengan peraturan ini yaitu:
a)      Persetujuan Bupati karena sekolah berada pada wilayah Kabupaten tersebut, sehingga segala bentuk pungutan bagi masyarakat untuk wajib belajar perlu persetujuan kepala daerah setempat, kalau demikian bagaimana dengan SBI SD/SMP? toh keberadaan sekolah tersebut juga berada pada wilayah Daerah tingkat II/kabupaten/kota.
b)      Asumsi bahwa sekolah (R)SBI atau sekolah yang akan dikembangkan menjadi (R)SBI pada dasarnya masih menjadi kewenangan pengelolaan pada Kabupeten/Kota dan belum menjadi kewenangan provinsi, sehingga terlalu cepat jika (R)SBI sudah diserahkan ke provinsi sebelum benar-benar menjadi SBI.
Era otonomi  daerah pengelolaan sekolah telah diserahkan sepenuhnya kepada daerah, artinya pengelolaan sekolah berada pada kewenangan dan tanggung jawab daerah, sekolah-sekolah negeri menjadi unit dari Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) bidang pendidikan. Sesuai dengan PP 38 tahun 2007 untuk SD dan SD berstandar internasional, SMP, SMA, SMK menjadi kewenangan Kabupaten/kota sedang SMP, SMA, SMK (R)SBI menjadi kewenangan provinsi. Meski dalam praktik dilapangan terdapat sekolah yang masih berstatus RSBI sudah diserahkan ke provinsi, meskipun ada yang masih dikelola kabupeten/kota. Sedangkan Pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diatur dengan Permendagri diatur dalam PP 58 tahun 2005 dan  secara teknis diatur lebih lanjut dalam Permendagri No. 13 tahun 2006.
Sistem pengelolaan keuangan pemerintah di Indonesia mengharuskan bahwa setiap penerimaan pada satuan kerja perangkat daerah harus disetor ke kas  daerah dan tidak dapat digunakan secara langsung untuk membiayai pengeluaran. Hal ini secara tegas diatur baik di dalam UU no 1 tahun 2004, PP 58 tahun 2005 dan permendagri no. 13 tahun 2006. Konsekuensi dari sini adalah bahwa penerimaan iuran  masyarakat dari orang tua/wali murid harus di setor ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah. Masalah lain berkait dengan pungutan sekolah sebenarnya pada permendagri tersebut telah diatur pula pada Pasal 128 ayat 2 permendagri 13 tahun 2006 menegaskan bahwa "SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah". Berarti bahwa sekolah-sekolah negeri ketika akan melakukan pungutan kepada masyarakat harus sudah ditetapkan terlebih dahulu dalam perda yang mengatur tentang pendapatan daerah tersebut. 
Masalah inilah yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan, dengan berbagai alasan di lapangan banyak sekolah belum bisa melaksanakan peraturan perundangan yang ada terkait dengan penerimaan dana sekolah bersumber dari masyarakat/orang tua/wali murid.   Pada awal tahun anggaran kebanyakan sekolah tetap saja menarik iuran, baik untuk pembangunan prasarana sekolah maupun menutup kebutuhan lain yang tidak dianggarkan pada Dokumen pelaksanaan kegiatan dari pemerintah.  Selanjutnya dana tersebut langsung digunakan oleh sekolah dengan otorisasi kepala sekolah maupun ketua komite sekolah.
Berkait dengan penerimaan oleh instansi pemerintah sebenarnya masih memungkinkan bahwa setiap penerimaan oleh satuan kerja perangkat daerah atau dibawahnya dapat langsung menggunakan untuk mendukung operasional kegiatan di lembaga tersebut, yaitu dengan ditetapkan sebagai Badan layanan Umum Dearah, yaitu pola pengelolaan keuangan yang menyimpang dari aturan pengelolaan keuangan pemerintah pada umumnya.
Haruskah BLUD ?
Keberadaan Badan layanan umum diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 23 tahun 2005, sedang untuk Badan layanan Umum Daerah diatur lebih jauh dalam Permermendagri  No. 61 tahun 2007.  Upaya BLU/D dijalankan diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan flesibilitas pengelolaan keuangan pada pemeritah yang di khususkan pada lembaga-lembaga yang memenuhi persyaratan baik persyaratan substantif yaitu pelayanan umum yang menghasilkan barang/jasa, persyaratan teknis artinya layanan umum tersebut memberikan potensi layak untuk dikembangkan menuju layanan efektif, efisien dan produktif, dan persyaratan adminsitratif, persyaratan manajemen  layanan sampai laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik.
Keberadaan  BLU/D diharapkan mampu memangkas birokrasi yang lamban dalam rangka mensejahterakan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa, fleksibilitas manjemen |pengelolaan keuangan dan menerapkan pengelolaan bisnis yang sehat. Jika persyaratan terpenuhi maka status Pola Pengelolaan Keuangan BLUD dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Sekolah yang pada niat awal menjadi lembaga layanan masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa memungkinkan bisa dikembangkan sebagai lembaga otonom dalam pengelolaan sekolah maupun pendanaannya meski tetap harus dibawah kontrol dan pengawasan pemerintah daerah.   Lantas apakah sekolah

Sumber : http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=12

0 komentar:

Posting Komentar